Karena Kau Sekantung Teh




Hai, selamat berbuka puasa. Makan dan minum apa hari ini? Ngomong-ngomong soal buka puasa, kata orang-orang berbukalah dengan yang manis-manis. Atau bagi seseorang yang lain, berbukalah dengan secangkir teh yang memiliki tingkat kemanisannya sendiri. Sebagaimana anak indie yang kerap kali dikaitkan dengan kopi, pria itu juga sama. Identik dengan ramuan teh dengan berbagai jenis bunga dan warna didalamnya. Teh yang diramunya juga bukan hanya seperti teh yang ada di warung dan dijual tiga ribu rupiah atau bahkan seribu lima ratus saja. "Kau tahu, apa yang sama candunya dengan kopi?" Tanyanya padaku sore itu. Aku menggeleng menyesap teh rosela yang ia siapkan untukku. Asam, rasanya asam. Sial, aku lupa kalau rasa teh yang ini memang khas. Dia tersenyum memperhatikanku lalu mengambil beberapa bunga kering di rak meja. Dipilihnya beberapa kuncup bunga rosela, forget me not, dan bunga telang. "Jawabannya teh" ujarnya. Aku diam mengamatinya yang asik menyeduh bunga telang yang berwarna biru dalam cangkir bening. Tangannya terampil menuangkan seduhan rosela ke cangkir yang lain. Dia tampak begitu asik dengan dunianya sendiri, ya perseduhan teh duniawi. 

Aku heran padanya, kenapa bisa sefanatik itu untuk meramu teh yang tergolong dalam teh herbal ini. Ah, sejatinya aku bukan seseorang yang menyukai teh. Bukan pula seseorang yang sangat gemar meminum kopi. Bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali aku meminum keduanya dalam setahun. Aku lebih memilih meminum air jeruk atau air putih biasa. Lagipula bagiku rasa teh juga begitu-begitu saja, dan kopi pun begitu. Tapi entah kenapa baginya, teh adalah dunia yang sangat luas. Dunia yang perlu bertahun-tahun diselami untuk dapat mengerti arti yang sebenarnya. Karena tiap sesapnya, rasanya tak lagi sama. Akan ada rasa yang berbeda kala menyesapnya. Seduhan bunga telang yang sudah berubah biru dituangnya ke dalam cangkir rosela hingga hampir penuh. Warna biru dari bunga telang dan warna merah dari bunga rosela bercampur cantik bak suatu galaksi luar angkasa. Tak lupa ditambahkannya bunga forget me not sebagai sentuhan terakhir. "Cantik" ujarku spontan. Dia tertawa pelan lalu memperlihatkan hasil karyanya itu padaku. 

"Coba tebak apa namanya?" Tanyanya lagi sambil menaikturunkan alisnya yang cukup lebat itu. Aku memutar kedua bola mata malas. "Kau tahu aku tak pernah paham macam-macam teh dan kopi" jawabku ketus. "Tapi kau selalu paham perihal arti bunga" dia menyodorkan sekuncup bunga forget me not padaku. Aku diam menatapnya bingung. Aku memang suka dengan bunga dan ya memang aku hampir mengetahui arti semua bunga. Hanya saja aku tak pernah tahu kalau bunga bisa diseduh menjadi teh.

Aku jadi ingat, forget me not adalah bunga yang cantik dan ada beberapa arti tersendiri. Banyak legenda mengenai bunga itu. Namun dari sekian legenda, ada satu legenda yang selalu menarik perhatianku. Ketika itu, Tuhan baru menciptakan alam semesta ini dan tiba waktunya Tuhan menghiasi dengan berbagai tanaman bunga yang sangat indah dan berbagai macam. Hingga waktunya menamai bunga yang tadi sudah Tuhan ciptakan, satu per satu bunga dinamai: mulai dari bunga mawar dinamai rose, bakung dinamai lily, tulip, kemudian magnolia, dilanjutkan dengan bunga frangipani, bunga poppy, pansy, bunga melati alias jasmine, bunga lavender, bunga geranium, dan bunga aster. Mereka sangat senang dengan nama-nama mereka tadi, lalu ada satu bunga kecil yang indah berada diantara semak-semak dibawah bunga mawar yang belum dipanggil namanya oleh Tuhan. Maka bunga yang sudah dinamai tadi berseru-seru memanggil Tuhan dan berkata: “forget me not, my lord! Forget me not!” lalu Tuhan tersenyum sambil memandang mereka dan berkata: “Then shall it be your name!”. Bunga kecil, indah nan mempesona tadi dinamai bunga Forget Me Not. Dimana arti dari bunga tersebut adalah Tuhan tak akan pernah sedetikpun melupakan makhluknya walaupun dia kecil dan tak terlihat oleh makhluk yang lain. Ada pula yang mengatakan bahwa di Jerman, bunga itu berarti kesetiaan.

"Namanya galaksi kenangan, kau bisa menambahkan es dan lemon jika kau mau. Rasanya akan terasa berbeda dan bunga ini menjadi planetnya. Planet yang tak seharusnya dilupakan, sepertiku." Lanjutnya menunjuk bunga dalam cangkir itu. Lamunanku buyar dan kembali menatap bunga yang mekar dalam cangkir. "Forget me not?" Ulangku. "Ya, jika suatu saat kau bosan dan butuh ketenangan, raciklah sendiri tehmu. Aku tak akan selamanya di sini. Aku hanya bertahan kala gelap, seperti teh galaksi ini, hidup bersama kenangan rasa tiap sesapannya dan warna tehnya yang akan menjadi pembeda. Tapi jika fajar datang, aku akan seperti planet bunga ini. Meski harus kau buang, aku harap kau tak akan melupakanku." Jelasnya. Aku menghela napas panjang.

"Jadi kau sendiri menganggap dirimu ampas teh?" Tanyaku. Dia tertawa, aku baru tahu dia bisa selepas itu saat tertawa. "Hei jadi kau hanya menganggap bunga ini sebagai ampas?" Tanyanya balik. "Ya enggak, mungkin jadi penghias." Jawabku asal sambil menaikkan bahuku. "Bunga itu juga memiliki fungsi, bukan hanya sebagai penghias. Tapi jika waktunya sudah habis dan tujuannya sudah selesai, dia harus pergi agar tidak menimbulkan rasa pahit, sama halnya denganku. Jika waktunya sudah tiba, kau bertemu dengan belahan jiwamu, aku harus pergi, karena tugasku untuk menemanimu pun sudah selesai. Ini semua terjadi agar aku tak melukai hatimu. Dan kau tahu betul hal itu. Dan sama seperti nama bunga itu, aku harap kau takkan melupakanku yang pernah menjadi bagian dalam perjalanan hidupmu. Tetapi jika suatu saat kau melupakanku, kau juga tahu aku akan selalu ada disitu mengingatmu.". Aku diam menyesap teh yang disebutnya galaksi kenangan tadi. Enggan melanjutkan percakapan yang aku sendiri tak ingin membahasnya. Enak, hanya satu kata itu yang mampu kugambarkan sekarang. Ah, Tuan Teh memang selalu begitu. Di setiap pertemuan, di setiap sesapannya. Dia akan selalu begitu. Meracik dengan penuh cinta, katanya.


Fleur.

Komentar

Postingan Populer