Meus aeterna


Satu hari di bulan Agustus, ceritaku kembali padamu.
Ceritaku ternyata belum usai begitu saja seiring dengan peranmu yang masih menjadi misteri dan harus kupecahkan sendiri. Jangan tanyakan kapan ceritaku akan usai. Selama kau dan aku masih bisa bernapas, selama waktu masih berjalan, selama itu pula ceritaku akan terus terukir.


Satu hari di bulan Agustus, jawaban dari segala tanyaku datang menghampiri.
Seseorang berkata padaku bahwa kaulah orangnya. Kaulah jawabannya. Aku bertanya mengapa, mengapa harus kamu orangnya? Aku hanyalah sebuah komet, sedangkan kamu adalah matahari. Kamu adalah matahari yang mencipta segala keteraturan, kamu dipuja begitu hebatnya karena kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau, kamu tahu apa yang menjadi tujuanmu, dan planet-planet itu begitu setia mengorbitmu. Berbeda sekali denganku. Aku mengitari orbit yang kubuat sendiri, bisa saja aku mendekatimu bahkan lebih dekat daripada merkurius, bisa saja aku menjauhimu lebih jauh daripada pluto. Ya tapi tetap saja harus aku akui, aku tetap mengorbitmu juga walau tak pernah terjangkau sinarmu. Aku tetap ada dalam gugusan tata suryamu. Aku bertanya mengapa, mengapa harus kamu orangnya? Semesta hanya menjawab bahwa kau dan aku bagaikan yin dan yang, menunjukkan segala keseimbangan. Aku bertanya kenapa, kenapa bukan orang lain saja? Alih-alih menjawab pertanyaanku, semesta malah berbalik bertanya padaku, "Bukankah kau sendiri yang meminta pada Dia, sang Pencipta, untuk mempertemukanmu dengan seseorang yang sejiwa denganmu? Bukankah segalanya tercipta dengan baik adanya? Bukankah kalian menyembah pada Tuhan yang sama, hanya sebutannya saja yang berbeda?". Aku terdiam berusaha mencerna. Aku kembali bertanya, lantas apa yang bisa kulakukan? Kali ini semesta tak memberi jawab. Berulang kali aku bertanya kenapa, tetapi selalu saja jawaban yang aku terima sekadar "Keputusan itu ada padamu. Aku telah berkata dia baik bagimu. Segala rahasianya sudah kau ketahui. Cerita selanjutnya adalah bagianmu sendiri."


Meus aeterna,
Aku harus bagaimana sekarang? Aku ingin mendekapmu dalam rengkuhanku, namun di detik yang sama pula aku tak ingin mengenalmu. Aku ingin menangis bahagia karena nyatanya aku telah berhasil kembali percaya pada renjana, namun di detik yang sama pula aku malah menangis sedih karena risiko yang aku terima terlalu perih. Aku harus bagaimana? Apakah aku harus bahagia atau sedih? Jadi, apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus menjadi kata sepakat tiap kali kita dekat?


Meus aeterna,
Andai saja kau tahu, awalnya aku tahu ada harapan yang mulai tumbuh. Ada harapan di setiap pesan berbalas, rasaku juga akan ikut terbalas. Namun aku lupa bahwa di kehidupan kita, jatuh hati selalu datang sepaket dengan patah hati. Ubi amor, ibi dolor. Aku lupa bahwa akan terasa sangat membosankan bila kita selalu terlihat sama.  Aku lupa bahwa kita memang diciptakan berbeda agar kau bukan hanya hadir sebagai penyeimbang tetapi melengkapi apa yang kurang dariku. Satu hari di bulan Agustus berhasil mengingatkanku bahwa puluhan tahun yang lalu bangsaku berhasil merdeka dari ancaman para penjajah. Aku ingat hal itu, tapi aku lupa untuk menanyakan apakah hatiku juga sama merdekanya? Ragaku mungkin merdeka, segala tanyaku mungkin sudah merdeka, tapi jiwaku masih terasa dijajah. Jurang penghalang itu terlalu dalam untuk kuperjuangkan sendiri. Jurang itu terlalu dalam untuk aku yang acap kali ditelan kebimbangan tentang rasamu. Jurang itu bisa saja hilang, asal bukan hanya aku sendiri yang menerjang. Aku tahu kita pada di titik yang sama, titik dimana sebisa mungkin menguburkan rasa tanpa pernah bicara, dan pada akhirnya kita pula yang terluka.


Meus aeterna, my equal.
Andai saja berbicara semudah tiap kali kita terdiam. Andai saja kepala ini adalah proyektor rasa, mungkin kita tak perlu bersusah payah menyusun kata untuk mengutarakan rasa. Andai saja mulut ini akan selalu berbicara hal yang sama dengan apa yang ada pada rasa, mungkin saja kita takkan pernah kehilangan sebuah makna. Andai saja nantinya akhir cerita ini akan berbeda. Percayalah padaku bahwa rasaku tak pernah berhenti pada kata seandainya. Amor animi arbitrio sumitur, non ponitur. Rasaku memang tidak nyata, tetapi ada.


In aeternum te amabo,

Fleur.

Komentar

Postingan Populer