Ruang


Di sudut gelap malam ini, Semesta berkata, "Tenanglah. Beristirahatlah barang sejenak. Kau perlu tahu, jika tak semua tanya akan datang beserta jawabannya. Kau perlu tahu, jika apa yang kamu mau tak selalu harus dituruti. Kau perlu tahu, jika apa yang kamu minta tak selalu sama dengan apa yang kamu terima. Kau perlu tahu bahwa akan ada saatnya kau merasa lelah jatuh dan patah di waktu yang sama. Lupakanlah penatmu dan lihatlah aku."


Lalu aku mendongak menatapnya. Tetapi yang kulihat hanyalah berjuta bintang yang takkan tertangkap lensa kamera. Bintang yang jauh lebih banyak jumlahnya dari biasanya. Cahayanya membentuk suatu pola, suatu sketsa pertanda. Entah memperingatkan apa, aku tak ahli perihal semiotika. 


Semesta kembali berkata, "Berbahagialah. Berceritalah. Kau bukan robot atau mesin yang dicipta tanpa rasa. Masih ada aku. Kau anggap atau tidak, aku masih di sini seperti biasa. Menantimu bercerita kala gelap malam datang. Menantimu tampil apa adanya tanpa pencitraan. Tolong, jangan biarkan lukamu kembali menganga. Mari berceritalah padaku, berceritalah."


Aku tersenyum. Perkataan Semesta terasa tulus kudengar. Ingin rasanya bercerita padanya. Namun lihatlah wahai diri, Semesta sedang berbahagia dengan jutaan cahaya bersamanya, aku tak mau dia ikut bersedih. Ah, rasanya aku hampir lupa bahwa nyatanya sepi begitu berarti. Aku hampir saja lupa bahwa malam selalu setia tampil apa adanya, tak seperti senja yang bermuka dua, tak seperti siang yang penuh pencitraan kemunafikan. Aku hampir saja lupa bahwa aku juga butuh ruang sendiri. Aku butuh ruang untuk sekadar berintrospeksi diri. Untuk sekadar menghargai sepi.



Fleur.

Komentar

Postingan Populer