Masih Bersama Asmaraloka
Tadi pagi, Awan hendak berkeliling sendiri. Menikmati sepi, mendengar kicau burung berbunyi, menghirup udara segar tanpa henti. Senyum itu merekah di bibirnya. Langkahnya terbawa angin di negeri antah berantah ini. Tanpa tujuan, tanpa arah. Saat sampai di perempatan jalan, Awan terdiam. Pandangannya tertuju ke suatu gedung. Ah, tepatnya ada pada satu ruangan di lantai dua gedung seberang jalan. Disana ada Bulan dan Matahari yang berucap kata perpisahan tetapi saling menguatkan dalam doa.
Dilihatnya Bulan yang lemah tanpa Matahari. Namun tetap bertahan dengan segala kemampuannya. Bagitupula Matahari, matanya memancarkan luka yang begitu dalam. Bibirnya masih bisa tersenyum, tapi hatinya tak lagi bisa tertawa. Ia tak henti-hentinya merapal sebuah mantra "Semua akan baik-baik saja. Tuhan sang pencipta kita itu baik, jadi kita akan baik-baik saja.". Perpisahan itu berujung doa bersama keduanya. Sedangkan Awan masih setia mengamati mereka berdua.
"Awan! hallo, apa kabar?" sapa Senja sambil menepuk pundak Awan. Awan terkejut lantas menoleh ke arah Senja. "Jadi sekarang kau mengambil posisiku?" tanya Senja cengengesan. Awan memutar bola matanya malas, "Dih, pede sekali kau. Siapa juga yang mau mengambil posisimu jadi pengamat membosankan ini, bikin pusing saja.". Senja tertawa terbahak-bahak. "Hei, kau ini kenapa? Tak biasanya kau jadi seperti ini. Apa karena kau melihat Bulan dan Matahari berpisah, kau jadi sensitif begini?" tanya Senja curiga. Awan terdiam sejenak. "Ah, bicara apa kau. Tentu saja aku..."
"Kau ingat Hujan?"
Belum sempat Awan menjawab, lagi-lagi Senja mengingatkan Awan tentang Hujan. Awan kembali terdiam cukup lama. Senja tahu Awan khawatir dengan Hujan.
"Senja, apakah keputusan Hujan sudah benar? Apakah hujan akan baik-baik saja? Bagaimana jika Tanah terus menyakiti hatinya? Bagaimana kalau..."
"Sudahlah Awan, setiap keputusan selalu ada risiko bukan? Begitupula denganmu. Jika Hujan memilih membiarkan semua rasanya mengalir begitu saja, mengapa engkau begitu khawatir? Lantas mengapa kau memilih pergi dari Hujan? Kenapa tidak berusaha menyemangati dan menenangkannya lagi saat Tanah kembali berulah? Apa kau menyalahkan Tanah kali ini?"
"......."
"Kenapa diam? Aku sudah mengamati kalian bertiga dari satu bulan yang lalu. Kau tahu? Tanah adalah tipikal yang diam namun penuh dengan talenta. Hujan adalah tipikal pemilih, dia juga sama-sama diam, tipikal yang penuh sabar namun sekalinya amarah itu memuncak, kau tahu sendiri bagaimana reaksinya. Dan kau? Seorang Awan yang bisa beradaptasi dengan siapa saja. Aku rasa kau punya potensi besar untuk selalu menjadi sahabat Hujan."
"......"
"......"
"Apakah aku hanya pantas menjadi sahabatnya?" tanya Awan pelan pada Senja. Senja menatap Awan tajam.
"Aku rasa kau tahu jawabannya. Aku tak pernah melihat Tanah berani berbicara terlebih dahulu dengan siapa pun lawan bicaranya. Tetapi dengan Hujan? Semua itu terpatahkan. Tanah terbuka pada Hujan, walau belum sepenuhnya terlihat. Tanah juga sangat bertalenta bukan? dan kau tahu Hujan sangat menyukai hal itu. Jika memang benar bukan Hujan yang Tanah mau, jika memang benar Tanah selalu memandang Langit, berarti ramalanku tentangmu mungkin saja salah. Kau masih punya banyak waktu yang tepat untuk bertemu Hujan. Aku tahu semuanya akan berakhir, di setiap harinya akan ada hati yang baru untuk lembar yang baru pula."
"....."
"....."
"....."
"Sudahlah, ayo kita jalan-jalan lagi. Kita hibur diri kita sendiri." ajak Senja sambil menarik tangan Awan karena lampu penyeberangan jalan sudah berwarna hijau lagi. Awan tak lagi berbicara, dia diam namun pikirannya bergemuruh perkataan Senja tadi. Pikirannya mulai gila. "Jadi, berpisah denganmu itu suatu hal yang mudah atau susah?" batin Awan dalam hati.
Cerita ini kutulis saat aku enggan berpamitan untuk pergi keluar rumah, karena melihat romansa kedua orang tuaku yang sedang saling duduk diam terhanyut dalam doa. Hai, pembaca tersesatku, terima kasih sudah membaca, pastikan hidupmu bahagia!
Tertanda,
Fleur
Komentar
Posting Komentar