Asmaraloka
Hello lagi pembaca yang masih tersesat, apa kabar? Jadi, bagaimana kalau kita bercerita? okay, let's begin...
Sore itu, Senja di sudut kota bercengkerama dengan Hujan dan Awan. Seperti biasa, Senja hanya diam sebagai pengamat, Hujan dan Awan adalah pemeran utamanya. Hujan bertanya kepada Awan, "Hai Awan, bolehkah aku meneteskan airku sekarang?". Awan dengan tenang menjawab "Jangan, belum saatnya.". Mendengar hal itu Hujan diam, sama diamnya dengan Senja.
Selang waktu berjalan, Hujan kembali bertanya hal yang sama. "Apakah aku boleh meneteskannya sekarang? Apakah Tanah tidak merindukanku seperti aku merindunya?" Awan menghela napas. "Ah Hujan, kau tahu Tanah hanya merindukan Langit. Tanah rindu Langit yang tak pernah bisa ia sentuh. Tanah takkan pernah merindumu. Mungkin Tanah memang memandang ke atas, tapi ia bukan memandangmu atau bahkan ia tak pernah memandangmu. Yang ia tahu, Langitlah yang berperan penting dalam hidupnya. Sudahlah, temani saja aku di sini."
Hujan tersentak lantas tersenyum miris sambil berkata,
"Hai Awan, biarkanlah airku ini turun menyentuhnya, melebur menjadi satu dalam rasanya, merasuk ke dalam inti sukmanya, menjadi aroma yang mungkin bisa menjadi pengingat rasa kagumku padanya. Aku tahu bila Tanah selalu dipuja. Bahkan oleh makhluk-makhluk hidup yang turut berpijak di atasnya. Biar saja ia terus memandang langit, aku akan tetap turun merendah memandangnya. Biar saja aku menemaninya dari ada menjadi tiada. Biar saja yang tak biasa akan terbiasa untuk biasa-biasa saja. Terima kasih untuk hari ini Awan, kurasa ini waktunya aku pulang."
Perlahan airnya turun, pelan tanpa suara, kecil tak berisik, dingin tanpa angin, ia penuh damai, ia tenang. Lagi-lagi Awan menghela napas panjang melihat kawannya yang selalu enggan untuk bercerita panjang tentang cintanya yang rumpang dan tak kunjung rampung. Lagi-lagi Hujan bersua dengan Tanah walau tanpa terdengar denting pilunya. Lagi-lagi Pelangi datang dan berkata, "Ini aku, datang sebagai tanda pengingat tentang pertemuan singkat Hujan dan Tanah yang pernah dekat.".
Senja diam. Pikirannya kalut, penuh dengan rasa, rasa tanya di antara kata. Senja masih saja duduk di sudut kota sampai Malam menyuruhnya pulang. Sampai Malam menyuruhnya untuk berhenti menjadi pengamat Hujan yang hilang di peraduan.
Cerita ini telah usai ditulis tepat satu hari setelah peringatan hari Sumpah Pemuda. Aku sedang duduk di dekat lapangan sembari mengamati pertandingan futsal yang sedang berlangsung sore itu. Terimakasih sudah membaca, pastikan hidupmu bahagia! semangat!
Tertanda,
Fleur
Komentar
Posting Komentar